Surakarta: episentrum seni dan politik

Ilustrasi diambil dari karya woodcut Garis Lepas; Sang Propagandis

Tulisan pendek ini awalnya diniatkan sebagai tulisan pengantar untuk sebuah pameran seni rupa di Solo pada Februari lalu. Namun tulisan ini kemudian ditolak dengan alasan yang tidak begitu jelas dari pihak penyelenggara. Konon ada kekhawatiran akan nasib pameran yang bakal terancam dikarenakan isi tulisan yang tidak seberapa ini.

Dengan melihat situasi ini, kegelapan yang akan diusung rezim terbaru tampaknya akan kian pekat, bukan melulu karena tingkah laku pemberangusan oleh rezim, tapi justru muncul dan dibiakkan oleh warga seninya sendiri.

Haji M. Misbach saya pilih sebagai ilustrasi tulisan ini, sekaligus sebagai peringatan atas bergabungnya sang Haji Merah dengan Insulinde pada bulan ini -Maret 1918- Sarekat yang penting untuk dicatat sebagai wadah peradikalisasian ide, gagasan keagamaan dan semangat anti imperialisme Misbach yang disemai dari tanah kelahirannya; Surakarta.


Pada sebuah diskusi terbuka yang melibatkan komunitas warga dan jaringan solidaritas di Yogyakarta, seorang perwakilan warga mengajukan pernyataan akan tidak begitu berartinya posisi seni dan kebudayaan dalam dinamika perjuangan rakyat, seperti apa yang sedang menimpa mereka di Pulau Obi, sebuah desa di Halmahera Selatan yang sedang terancam pertambangan nikel, yang membuat ia dan beberapa warga harus mengungsikan diri keluar dari sana untuk menghindari pencidukan aparat karena bersikeras menolak pertambangan. Kami meresponnya dengan sedikit kegaduhan, meski dalam sekian persen, kami tentu saja menyetujuinya.

Dalam perkembangan tiga dekade belakangan, seni- atau dalam istilah umumnya bisa disebut kebudayaan- kurang menjadi hal penting bagi masyarakat umum. Seni dan berbagai kegiatannya dianggap sebagai kebutuhan sekunder, tidak menjadi kebutuhan warga, faktor yang mungkin juga membuat seniman dan karya seninya makin berjarak dengan masyarakat, terlebih otoritarianisme Orde Baru yang membabat habis nalar kritis warga membuat sekian generasi seni makin terdepolitisasi. Seni mengamankan dirinya dalam kesibukan bursa seni, atau bila dianggap kritis pun, masih akan berada dalam taraf yang masih bisa ditolerir rezim, karena tidak begitu intens membicarakan masalah-masalah rakyat yang mengancam eksistensi penguasa. Kekritisan ini sebatas mempertarungkan kasak-kusuk perdebatan isme-isme dalam labirin rumit kesenian. Seni justru menempatkan atau ditempatkan paksa harus sejalan dengan agenda pembangunan ekonomi baru yang membuka pintu lebar-lebar pada kucuran penanaman modal asing. Di luar itu, adalah area berbahaya pertaruhan karir, bahkan nyawa.

Baru kemudian seni menemukan momentum impresifnya berbarengan dengan menggeliatnya gerakan sipil menjemput senjakala Orde Baru. Gerakan yang diprovokasi oleh Wiji Thukul dengan pendekatan sastra jalanannya berhasil membawa seni dalam gelanggang pertarungan wacana politik, yang membuat seni tidak hanya berpulang kembali kepada kepentingan rakyat, tapi juga membuat seni menjadi ancaman termutakhir bagi rezim militeristik. Wiji Thukul akhirnya hilang, karya-karya agitatifnya beredar menjalar, bukan hanya menjadi barang konsumsi bersifat hiasan belaka tapi menjadi nafas gerakan rakyat yang sekian tahun disumpal oleh basa-basi kearifan bahasa sastra langitan dan kesopanan moral budaya.

Surakarta sebagai tanah kelahiran penyair peluru ini, selalu menjadi lokus penting dalam dinamika sejarah politik Indonesia. Seperti bagaimana peristiwa kolosal anti-swapraja berhasil menghapus dan merontokkan pengaruh feodalisme di awal masa kemerdekaan, lalu maju tiga belas tahun kemudian, Lembaga kebudayaan Rakyat atau Lekra menggelar Kongres monumental pertamanya di Solo, yang menginspirasi banyak daerah lainnya membentuk lembaga-lembaga kebudayaannya masing-masing, yang melingkupi bermacam disiplin seni rakyat.

Warisan Lekra menjadi teramat penting bagi metode gerakan sosial di Indonesia. Lekra membuat standar paling maju yang tak terbantahkan dalam upaya membaca, menganalisa, mengartikulasikan dan meradikalisasi kebudayaan rakyat dalam level paling aplikatif, menempatkan seni sebagai perkakas berguna dalam membaca zaman. Bila di masa serba kontemporer seperti sekarang ini kita mengenal istilah ‘seni berbasis riset’, Lekra di tahun 1959 sudah memantapkannya dalam istilah ‘turun ke bawah’ atau Turba. Turba menjadi modal purba dalam memahami dinamika sosial masyarakat, mempelajari sekaligus melebur bersama kegelisahan rakyat. Tidak sekadar menjadikan rakyat sebagai obyek potret kesenian, tapi bergeliat bersama dalam kerja-kerja pengorganisasian rakyat.

Dan kini, Solo menjadi sorotan dunia, tentu saja di luar urusan seni dan kebudayaan. Solo telah menjadi sarang dinasti politik Jokowi. Era progresifitas kota Solo dahulu berganti menjadi episentrum keagresifan hasrat kekuasaan. Situasi genting ini ternyata tidak berhasil membangunkan kesadaran politik masyarakatnya, entah karena faktor apa yang membuat bahkan senimannya yang dahulu memiliki wibawa besar kebudayaan kelas internasional- tidak banyak bergerak dalam merespon ketidakberesan ini. Sebuah kenyataan akan nasib ekosistem yang tidak terpelihara. Memang tidaklah adil menunggu warga seni Solo sendirian mengambil posisi kritis dalam menghadapi kekuasaan, tapi inisiatif kecil pun rupanya tidak tampak dalam mengupayakannya. Percikan api perubahan tidak muncul dari makin pekatnya gulita kejahatan yang di waktu bersamaan keculasan ini justru makin terang benderang.

Ini yang menjadi pertanyaan mendasar sekaligus pertanyaan usang, akan dimana posisi seni dalam menghadapi permasalahan sosial. Apakah seni membutuhkan stimulan teramat hebat berupa tragedi besar, hingga akhirnya bisa mendorong seniman bergerak keluar dari sangkar-sangkar studionya yang nyaman? Apakah konsekuensi depolitisasi Orde Baru belum menemukan titik kedaluwarsanya, hingga seniman tidak lagi memiliki kepekaan kelas bahkan buta dalam membaca zaman? Atau jangan-jangan memang bukanlah sebuah kewajiban lagi bagi seni mengambil posisi dalam mengoreksi ketidakberesan? Pertanyaan mendasar yang sudah pasti akan berkelindan dengan jawaban retoris. Tak mengapa, kadang pertanyaan semacam ini memang tidak harus dijawab, tapi ditabrakkan saja dengan realitas sosial yang mungkin bakal membuat kebudayaan harus diseret paksa dalam arak-arakan perubahan zaman.

ANTI-TANK

16 Februari 2023, di kolong langit gelap petaka pemilu

Leave a comment