Tulisan pendek ini awalnya diniatkan sebagai tulisan pengantar untuk sebuah pameran seni rupa di Solo pada Februari lalu. Namun tulisan ini kemudian ditolak dengan alasan yang tidak begitu jelas dari pihak penyelenggara. Konon ada kekhawatiran akan nasib pameran yang bakal terancam dikarenakan isi tulisan yang tidak seberapa ini.
Dengan melihat situasi ini, kegelapan yang akan diusung rezim terbaru tampaknya akan kian pekat, bukan melulu karena tingkah laku pemberangusan oleh rezim, tapi justru muncul dan dibiakkan oleh warga seninya sendiri.
Haji M. Misbach saya pilih sebagai ilustrasi tulisan ini, sekaligus sebagai peringatan atas bergabungnya sang Haji Merah dengan Insulinde pada bulan ini -Maret 1918- Sarekat yang penting untuk dicatat sebagai wadah peradikalisasian ide, gagasan keagamaan dan semangat anti imperialisme Misbach yang disemai dari tanah kelahirannya; Surakarta.
Continue reading “Surakarta: episentrum seni dan politik”